Kotak Hitam APBD Lamongan | Rakyat Buta, Elit Berpesta
Lamongan, BeritaTempo.online – Minggu (13/04/2025). Forum diskusi bertajuk Ngaji APBD Lamongan 2025 yang digelar DPD LKDN Lamongan pada Minggu, 13 April 2025, menjadi ajang pembuka mata bagi para peserta dari berbagai kalangan. Dihadiri oleh aktivis, mahasiswa, tokoh LSM berkualitas nasional, seniman, dan jurnalis, forum ini mengupas tuntas transparansi dan akuntabilitas pengelolaan APBD Lamongan.
Yak Widhi, inisiator acara, menyatakan bahwa prioritas pembangunan di Lamongan selama ini banyak yang melenceng dari kebutuhan masyarakat. Ia menyoroti kondisi jalan rusak yang menelan korban jiwa serta keberadaan WARLA (Warung Lamongan) yang kini banyak tutup dan gulung tikar sebagai simbol ketimpangan arah pembangunan.
"Ngaji APBD ini bukan sekadar forum intelektual, tapi usaha mencerdaskan kehidupan berbangsa dari akar daerah," tegas Yak Widhi.
Ia mengajak seluruh elemen masyarakat untuk lebih peduli dan cinta terhadap daerahnya dengan turut mengawal penggunaan anggaran publik.
Tiga narasumber utama — Nur Salim, Madekan Ali, dan Nur Rojuqi — memantik diskusi dengan mengurai seluk-beluk proses penyusunan APBD, mekanisme dari RAPBD ke APBD, hingga rincian Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan alokasi dana dari pemerintah provinsi dan pusat.
Diketahui, total APBD Lamongan tahun 2025 sebesar Rp 3,2 triliun, dengan PAD hanya Rp 600 miliar. Mayoritas anggaran diperoleh dari transfer pemerintah pusat dan provinsi. Namun ironisnya, Rp 2,3 triliun digunakan untuk belanja pegawai, dan sisanya dibagi untuk bantuan ke desa, hibah, serta belanja barang/jasa, termasuk perjalanan dinas dan konsumsi.
Nur Salim menegaskan bahwa komposisi ini menunjukkan ketergantungan tinggi Lamongan terhadap pemerintah pusat. Ia juga mengkritik praktik “kotak hitam” dalam penyusunan APBD, di mana banyak rincian anggaran yang tidak disampaikan secara transparan ke publik.
“APBD ini seolah menjadi ruang eksklusif bagi segelintir elit untuk bermain kebijakan. Padahal, dana itu milik rakyat,” tegasnya.
Sementara itu, Nur Rojuqi mempertanyakan legalitas dan konsistensi APBD Lamongan terhadap dokumen perencanaan daerah (RKPD). Ia menilai banyak prosedur penyusunan yang tidak sesuai dengan sistem ketatanegaraan, termasuk tidak lengkapnya dokumen pendukung APBD yang sah.
Diskusi yang berlangsung intens ini mengungkap dugaan ketidaksinkronan antara perencanaan dan implementasi anggaran daerah. Para peserta yang berasal dari berbagai organisasi kemasyarakatan dan media pun merasa tercengang dengan pola tata kelola yang dinilai amburadul dan rawan nepotisme.
Acara ini menjadi langkah awal DPD LKDN Lamongan dalam mendorong gerakan literasi anggaran yang lebih luas. Para peserta berharap kegiatan seperti ini dapat digelar rutin di berbagai kecamatan untuk meningkatkan kesadaran publik dalam mengawasi jalannya pemerintahan daerah.
(Penulis: Makruf)
Editor : Adytia Damar
Posting Komentar